Suatu malam di hari Minggu, karena kebutuhan yang mendesak dan tiba-tiba, akhirnya aku harus segera pergi ke toko buku rohani. Kepalaku langsung tertuju ke toko buku rohani yang ada di gereja tidak jauh dari rumahku. Kulihat jam di rumah, sudah menunjukkan pukul 8 malam.
“Masih buka nggak ya?” pikirku.
Seingatku, ibadah terakhir di gereja tersebut sudah selesai sekitar satu jam yang lalu, jangan-jangan toko buku pun tutup seiring dengan selesainya ibadah di sana. Dengan terburu-buru aku pergi ke gereja tersebut, dan sekitar lima menit kemudian aku sudah memasuki pintu gerbang gereja. Lampu – lampu di dalamnya tampak sudah mulai padam, hanya beberapa bagian yang masih menyala. Suasana juga tampak sangat lengang, mengingat ibadah terakhir sudah selesai cukup lama.
Aku segera bergegas menuju ke toko buku di dalamnya,
“Lampu di dalem toko buku masih nyala sih, tapi jangan pegai di dalem udah siap-siap pulang”, kataku dalam hati.
Saat aku memasuki toko buku, aku pun harus menelan rasa kecewa, karena ternyata toko bukunya sudah tutup. Pegawai di dalam sedang bersiap-siap untuk pulang. Akhirnya aku pun menuju mobilku yang terparkir di depan toko buku. Di sebelah mobil, ada bocah laki-laki. Dilihat dari postur tubuhnya, aku menebak ia masih dalam usia Sekolah Dasar. Dengan membawa Alkitab, dia berdiri sendirian di tempat parkir yang mulai gelap. Suasana di tempat parkir juga mulai beranjak sepi, hanya tampak beberapa pegawai yang memasukkan barang-barang ke dalam mobil, berkemas untuk segera pulang.
“Dik, pulang sama siapa?” tanyaku pada bocah tersebut dari dalam mobil.
“sama papa”, jawabnya sopan.
“sudah telepon?”
“belom”.
Pikirku dalam hati “lhaaa.. terus gimana kalo nggak ditelepon?”
Tak lama bocah itu menambahkan, “tapi biasanya papa jemput kok,”
“rumahnya di mana, Dik?” tanyaku, yang kemudian dijawab bocah tersebut dengan menyebutkan daerah yang tidak jauh dari gereja.
“adik tau nomer HP nya papa?” pikirku, siapa tau aku bisa menghubungi ayah anak itu untuk bertanya keberadaannya, atau aku mengantarkan anak itu ke rumahnya jadi sang ayah tidak perlu menjemputnya.
“Nggak tau, nggak hafal” jawabnya.
“kalo telepon rumah, hafal?” tanyaku lagi.
“enggak ada. Adanya Cuma HP, tapi juga nggak hafal,” jawabnya polos.
Akhirnya karena aku diburu waktu, dan aku tidak tahu kemana harus menghubungi keluarga bocah tersebut, aku pun beranjak pergi. Aku berpikir di sana masih ada beberapa orang, dan satpam juga masih ada. Lalu akupun pergi.
***
Sesaat aku berpikir, mungkin demikianlah arti dari iman dan pengharapan. Di saat situasi semakin sulit, kita semakin sadar bahwa kita sendirian, namun kita berani berkata bahwa “Tuhan pasti tolong kita kok”. Kita tetap percaya bahwa sekalipun tampaknya kita sendirian, tapi bukan berarti Ia meninggalkan kita. Bahkan dari cerita bocah lelaki tersebut, ia sangat percaya pada ayahnya bahwa ayahnya sedang dalam persiapan atau sedang dalam perjalanan untuk menjemput dia, padahal ia tidak dapat menghubungi orangtuanya. Bukankah kita 24 jam terhubung dengan Bapa kita? =)
No comments:
Post a Comment