Suasana di kelas sangat ramai
Sekumpulan anak berumur tiga hingga empat tahun bermain bersama
Jarum jam menunjukkan pukul 11.35, sepuluh menit menuju kepulangan mereka
“Yesss!! Katanya sebentar lagi bel! Terus pulaang!!” teriak seorang anak
“Iya, aku mau pergi sama mama” sambung temannya
“Aku mau main di rumah!!” sahut anak lainnya.
“Okay, everybody please tidy up your chairs. Get back to your seats, because we will pray”, ujarku pada mereka.
Sembari menunggu murid-muridku merapikan kursinya, tiba-tiba datang seorang murid perempuan menghampiriku dan berdiri di sebelahku.
Sembari tertunduk menulis sesuatu di mejaku, aku berkata “Kenapa Natalie?”
Nyaris setahun bersama mereka, cukup membuatku mengenal siapa yang berdiri tepat di sampingku tanpa perlu menolehkan kepala.
Beberapa detik kutunggu, tidak kunjung ada jawaban. Akhirnya aku pun menoleh padanya.
Yang aku lihat adalah Natalie, terdiam dengan muka yang memerah, dan tetesan air mata perlahan turun dari kedua matanya membasahi kedua sisi pipinya.
“Lho, Natalie kenapa?” tanyaku dengan rasa kuatir, apakah ia terjatuh atau terluka.
“……………” masih tidak terdengar jawaban.
Maka kutunggu ia beberapa detik hingga ia merasa siap.
“Natalie nggak mau ke ruang tunggu nanti” jawabnya perlahan.
Aku pun terkejut dengan jawaban tersebut. Namun bila kuingat kembali, ia adalah anak yang nyaris setiap hari paling telat dijemput oleh orang tuanya. Saat teman-temannya berbaris dan dijemput oleh orang tuanya satu per satu saat mencapai pintu keluar, Natalie adalah anak yang hampir selalu harus menunggu di ruang tunggu dahulu.
“Lho kan Natalie bisa main-main sama teman-teman yang lain di ruang tunggu” ucapku padanya.
Ia pun membalas dengan gelengan perlahan padaku.
“Memangnya ada apa di ruang tunggu?” tanyaku, berusaha mencari tahu bila sesuatu terjadi padanya selama di ruang tunggu.
“Natalie takut nanti nggak dijemput sama mama” jawabnya dengan suara serak yang diringi dengan tetesan air mata.
Ahh.. aku mengerti sekarang. Ternyata bukan ruang tunggu yang membuatnya enggan, namun kenyataan bahwa orang tuanya belum datang menjemput itulah yang membuatnya takut.
Akupun berusaha menghiburnya, dan mengatakan orang tuanya pasti menjemputnya, walaupun telat sedikit tapi bukan berarti orang tuanya lupa padanya. Mungkin ada hal penting yang harus dilakukan.
“Tapi mama sudah janji nggak telat lagi”, ucapnya, yang akhirnya membuatku terdiam.
***
Kita sering berpikir bahwa anak kecil adalah tidak pernah mengalami rasa susah, tidak pernah kuatir, mudah untuk diarahkan atau dialihkan. Cukup dibujuk sedikit, mereka akan teralihkan, karena mereka masih sangat polos.
Namun kita sering menyalahgunakan atau menganggap ringan apa yang kita ucapkan pada mereka, walaupun mungkin itu hanya hal kecil.
Mungkin banyak yang sudah tahu bahwa pada usia di bawah lima tahun, mereka belajar banyak hal, seperti bahasa, berhitung, kecerdasan kinestetik, musik, seni, dan hal lainnya. Namun mungkin kita lupa bahwa di usia ini, mereka juga belajar tentang karakter, seperti bertanggung jawab, rendah hati, jujur, dan dapat dipercaya. Tidak ada yang dapat mengajarkan tentang karakter itu selain orang-orang terdekatnya menunjukkan secara langsung.
Dalam hal ini aku belajar bahwa jangan pernah berjanji pada siapapun,
termasuk pada anak kecil sekalipun, bila kita belum tahu dapat
memenuhinya atau tidak. Dalam hal ini, mereka cukup dewasa untuk kita ajak bicara dan beri pengertian, apa sebab kita sulit untuk datang tepat waktu, tanpa perlu memberikan janji sebelumnya.
Mereka memang masih kecil, namun bukan berarti mereka yang harus terus belajar dari kita. Kita pun dapat belajar sangat banyak dari mereka. Mereka memang masih kecil, namun bukan berarti mereka dapat lupa dengan mudah apa yang kita katakana, terutama bila itu membuat mereka senang dan tenang.
Ya, mereka memang (bukan) hanya anak kecil, dan aku pun terus berusaha untuk memahami itu.