Pages

Monday, October 29, 2012

A Teaspoon of Happiness #3



Di suatu hari, di mana para karyawan diberkahi long weekend karena adanya hari libur sebelum akhir pekan, berbagai macam pilihan untuk menghabiskan akhir pekan pun dilakukan orang-orang. Mulai dari bersantai di rumah bersama keluarga, maupun keluar kota. Aku memutuskan untuk tetap tinggal di rumah. Sempat terbersit rasa sesal dan kesal karena satu dan lain hal, sehingga hanya bisa berdiam diri di rumah selama liburan.
Di hari libur itu, papa datang dari tugas luar kotanya. Aku dan mama yang akan menjemput papa di bandara. Demi menghindari macet bila melalui jalan di suatu kawasan, kami pun memutuskan untuk melalui jalan tol menuju bandara. Jalan kosong..lengang..dan lancar. Akhirnya tibalah kami di sebuah loket tol. Pada saat membayar, si bapak penjaga pos mengulurkan tangan, memberikan karcis sambil bersenandung ringan dan melakukan goyangan kecil dengan kepalanya. Saat karcis sdah selesai diberikan, dan uang biaya tol telah di tangannya, ia tersenyum dan berkata “terima kasih”, lalu tampak sekilas ia kembali menggoyangkan kepalanya dan sayup-sayup terdengar ia kembaloi melanjutkan nyanyiannya yang kemudian terdengar semakin sayup-sayup seiring dengan melajunya mobilku dari loket tol.
“kamu liat, dia malah harus kerja waktu semua orang lagi seneng-seneng liburan. Gitu ya nyanyi-nyanyi bahagia gitu”. Ujar mama padaku.
Dan aku terdiam dengan rasa kagumku pada Sang Bapak….

A Teaspoon of Happiness #2



Aku dan papa sedang duduk di sebuah pujasera di sebuah mall. Kami perlu bertemu dengan seseorang dari manajemen mall ini terkait sebuah pekerjaan. Jam menunjukkan jam makan siang telah usai, namun orang yang kami cari sedang keluar ruangan dan belum tiba di kantor dikarenakan ada urusan mendadak lainnya yang harus diselesaikan. Itu sebabnya papa dan aku memutuskan untuk menunggu di pujasera sambil membeli sedikit jajanan.
Tampak seorang pemuda berpakaian kemeja putih, celana hitam kain, sepatu pantofel hitam, berambut cepak, dan mengenakan tas ransel. Ia memilih meja kosong yang pas bersebelahan dengan mejaku. Terdapat empat kursi kosong yang duduk berhadapan. Ia duduk di kursi yang posisinya serong denganku, dan meletakkan tas ranselnya di kursi kosong di sebelahnya.
Dari caranya menghempaskan diri ke kursi, dan raut wajahnya, tampak ia sangat lapar dan kelelahan. Tidak berapa lama, ia tampak berusaha mengambil sesuatu dari dalam tas ranselnya. Ia mengeluarkan dua kantong plastik berwarna hitam dan biru bening. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam kantong plastik hitam, namun dalam palstik biru bening tampak jelas sebuah kotak makan yang penuh terisi.
Kukira ia akan segera menyantap bekal yang ia bawa. Ternyata hal yang ia lakukan adalah meletakkan plastik-plastik itu di hadapannya, lalu ia memejamkan matanya dan melipat tangannya. Ia ternyata berdoa sebelum makan, setelah itu ia segera menyantap bekalnya.
“hayo gitu kira-kira yang masak, terus bawain bekalnya siapa ya? Mamanya? Atau mungkin udah punya istri?” ujar papa padaku dengan usil, sebab kelihatan kalau bekalnya sangat lengkap isinya, dan terbungkus rapi. Susah membayangkan seorang pria menyiapkan segala itu semua sendiri. Dilihat dari usia, ia tampak sangat muda. Mungkin baru satu atau dua tahun lulus kuliah, dan tampaknya seperti pemuda lajang yang masih merintis karir.
“wah.. nggak tau ya pa” jawabku sambil ketawa kecil. Tapi satu hal yang aku tahu pasti: mungkin makanan yang ia bawa bukanlah makanan dari restoran mahal, dengan rasa seperti masakan koki terkenal,  namun tampak bahwa bekal dari rumah itu bermakna sebuah perhatian dan kehangatan sebuah keluarga. Itu yang membuatnya lebih nikmat dan terasa mahal. 

A Teaspoon of Happiness #1



Aku memandang angka yang tampak pada layar Handphone. 21.00.  Pesta pernikahan yang kudatangi menunjukkan tanda-tanda akan segera berakhir. Para undangan telah banyak yang meninggalkan tempat pesta. Mengingat pesta diadakan pada Minggu malam, banyak yang memutuskan pulang lebih cepat karena harus bekerja keesokan harinya.
Aku masih duduk di kursi, sambil menanti giliranku untuk berfoto dengan sang mempelai. Tampak piring-piring dan gelas-gelas kotor tergeletak di atas meja-meja yang tersedia. Taplak meja tidak lagi tampak dalam posisi sempurna seperti semula. Posisi kursi tampak acak di dalam ruangan. Serpihan kertas bekas dari confetti juga tampak berserakan di lantai pesta yang tertutup karpet.
Sambil duduk dengan ekspresi wajah yang sudah susah tersenyum, aku melepas sepatuku dengan hak (heels) setinggi sekitar 9 cm. Rasa nyeri mulai terasa di bagian ujung kaki, akibat bobot seluruh badan tertumpu di bagian depan kaki.  “Ahh..gimana bisa itu artis-artis cantik di film bahkan lari-lari pake hak tinggi”, ujarku dalam hati. Sambil menunggu dengan kelelahan dan mengistirahatkan kaki, aku mengamati para petugas yang mulai mengangkat piring-piring dan gelas-gelas kotor dari meja-meja.
Mataku tertuju pada seorang laki-laki yang mengenakan seragam, Ia tampak sedang membungkuk di samping meja, mengambil piring di atas meja lalu membawanya dari meja. Tingginya mungkin sekitar 160 cm. Pada saat ia berbalik ke arahku, aku sedikit terkejut dengan penglihatanku…dari wajahnya, kutebak usianya pasti masih belasan. Namun…. Yang lebih membuatku terkejut adalah…
Ia berjalan dengan membawa piring kotor, sambil menyanyi riang dan ringan, serta ayunan langkah yang mengikuti ritme lagu yang ia nyanyikan.
Bila aku melihat ke seluruh ruangan..masih banyak piring dan gelas kotor yang harus ia bereskan. Masih banyak taplak meja kotor,yang juga harus ia angkat. Sedangkan aku, tinggal duduk menunggu giliran foto lalu pulang.
Bila aku melihat ke arah jam, kurang lebih sekitar 4 jam ia sudah bekerja di acara ini untuk melayani setiap tamu. Sedangkan aku, tinggal berdiri karena konsep acara standing party, menikmati jalannya acara dan hidangan.
Tapi apa yang keluar dari mulut remaja laki-laki tersebut? Sebuah nyanyian.

Sunday, July 1, 2012

Sikat Gigi aja Harus Move On


Sayup - sayup dalam tidurku dapat kudengar kedua anjingku menggonggong. Semakin lama terdengar semakin nyata, hingga akhirnya kepalaku mulai dapat mengambil kesimpulan kalau ini sudah pagi, dan anjing-anjing benar-benar menggonggong. Bukan hanya mimpi.

Yeah,entah bagaimana caranya setiap jam lima pagi kedua anjingku kompak untuk menggonggong, yang akhirnya itu seperti alarm alami yang kumiliki di rumah. Akupun mulai curiga,jangan - jangan mereka pernah menemukan jam tangan bekas, lalu menguburnya entah di sebelah mana di halaman rumah, dan belajar cara membaca jam. Mereka memang sangat pintar untuk mengenal waktu, namun yang mereka tidak tahu adalah : INI ADALAH HARI LIBUR!!

Dengan (sangat) malas aku pun mengumpulkan sisa-sisa kesadaran yang masih berserakan antara alam mimpi dan nyata. Ada rasa aneh di bagian wajahku, terutama mulut. Rasanya kaku sekali untuk digerakkan. Setiap aku mencoba membuka mulut, ada rasa nyeri yang timbul di bagian dalam pipi sebelah kananku. Bila aku menutup mulutku, seakan-akan aku seperti bisa melihat pipi kananku sedikiiitt mmbengkak.

Dengan langkah gontai namun diliputi rasa penasaran dan didukung dengan rasa sakit yang mengganggu, aku pun menuju cermin di kamar. Setibanya di depan cermin, kubuka mulutku dan bisa kulihat bagian dalam pipi kananku memerah.
" Aneh ", pikirku. Aku mulai berpikir dan mencari beberapa kemungkinan penyebab memerahnya bagian ini, namun hasilnya nihil.
Yah, bagaimanapun juga hidup harus terus berjalan yang berarti walaupun sakit, tapi aku tetap harus dan perlu makan. Rasa nyeri hanya sedikiiittt memengaruhi nafsu makan, jadi di hari pertama ini aku bisa makan dengan sedikit tenang sambil berharap esok hari akan lebih baik.

Hari kedua, rasa nyeri semakin menjadi. Saat aku melihat ke cermin, misteri mulai terjawab. Aku bisa melihat seperti bintik putih di bagian dalam pipi kananku. AHA!! itu dia! sariawan! Ada perasaan lega yang terbersit, karena HANYA sariawan. Namun juga timbul pertanyaan. " kok bisa?"

Kalau ditelusuri, aku sangat jarang sariawan sejak dari kecil. Kalaupun akhirnya sariawan, itu karena enggak sengaja tergigit atau tertusuk sesuatu waktu makan yang akhirnya melukai bagian dalam mulut.

Saat jam makan pagi pun terbuka lagi sebuah kenyataan, kalau sudah muncul satu sariawan lagi di bawah lidah. Aarrghh! kenapa ini sariawan tiba-tiba berkomplot untuk tiba-tiba eksis. untung mereka enggak begitu mengikuti tren, yaitu buat semacam boyband atau girlband yang anggotanya sekarang bisa se-RT. Cukup duo aja.

Cukup dua sariawan untuk membuat nafsu makan dan bicara berkurang. Jangankan bicara, mau senyum aja pipi rasanya kaku. Makanan enakpun kenikmatannya sedikit berkurang (walaupun tetap aja enak). Suatu hari sambil makan siang dengan perlahan, akupun berpikir sebab munculnya sariawan yang tiba-tiba unjuk diri, padahal konsumsi vitamin juga oke.

Tiba-tiba aku teringat beberapa hari sebelum ini aku mengganti sikat gigiku. Tampaknya sariawan-sariawan ini muncul seiring dengan masa penyesuaian diri dengan sikat gigi baru. Dasarnya mulut udah nyaman sama struktur sikat gigi yang lama, dia pun protes waktu kenalan sama sikat gigi baru. Bulu sikat gigi baru masih kaku, jadi menusuk ke sana-sini.

Sambil melamun (dan merenungi sariawan yang muncul), akupun jadi berpikir "mungkin ini yang namanya Move On". Seiring dengan terkenalnya istilah galau maka Move On alias melanjutkan hidup, juga ikut terkenal. Biasanya orang yang galau, adalah orang yang susah melanjutkan hidup setelah melalui hal yang berat, misalnya berpisah dengan orang yang disayang.

Baiklah, kuanggap ini caranya mulutku untuk move on. Dia masih melalui masa berat setelah kupisahkan dari sikat gigi lama, dan akibatnya dia galau dengan cara muncul sariawan yang akhirnya membuat enggak napsu makan. Persis seperti orang patah hati kan?

Bagaimanapun dalam hidup, kita harus terus move on. Ada hal-hal yang harus dilepas untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Mungkin yang harus kita lepas adalah orang yang kita kasihi, entah bagaimana caranya. Bisa juga itu adalah pekerjaan lama kita yang kita sudah merasa nyaman, atau mungkin barang-barang kesayangan yang harus kita relakan,entahlah. Bagaimanapun tidak ada yang mudah dengan yang namanya penyesuaian dengan hal baru tapi harus dilakukan. Seperti sikat gigi yang harus diganti setiap tiga bulan sekali,  untuk kesehatan. Bisa aja terus pakai yang lama, tapi fungsinya tidak maksimal dan malah menyebabkan sakit yang lebih parah. Buat apa diteruskan kalau hanya akan merusak diri?

Friday, May 25, 2012

Mereka (bukan) Hanya Anak Kecil

 Suasana di kelas sangat ramai
Sekumpulan anak berumur tiga hingga empat tahun bermain bersama
Jarum jam menunjukkan pukul 11.35, sepuluh menit menuju kepulangan mereka
“Yesss!! Katanya sebentar lagi bel! Terus pulaang!!” teriak seorang anak
“Iya, aku mau pergi sama mama” sambung temannya
“Aku mau main di rumah!!” sahut anak lainnya.
 “Okay, everybody please tidy up your chairs. Get back to your seats, because we will pray”, ujarku pada mereka. Sembari menunggu murid-muridku merapikan kursinya, tiba-tiba datang seorang murid perempuan menghampiriku dan berdiri di sebelahku.
Sembari tertunduk menulis sesuatu di mejaku, aku berkata “Kenapa Natalie?”
Nyaris setahun bersama mereka, cukup membuatku mengenal siapa yang berdiri tepat di sampingku tanpa perlu menolehkan kepala.
Beberapa detik kutunggu, tidak kunjung ada jawaban. Akhirnya aku pun menoleh padanya. Yang aku lihat adalah Natalie, terdiam dengan muka yang memerah, dan tetesan air mata perlahan turun dari kedua matanya membasahi kedua sisi pipinya.
“Lho, Natalie kenapa?” tanyaku dengan rasa kuatir, apakah ia terjatuh atau terluka.
 “……………” masih tidak terdengar jawaban. Maka kutunggu ia beberapa detik hingga ia merasa siap. “Natalie nggak mau ke ruang tunggu nanti” jawabnya perlahan.
Aku pun terkejut dengan jawaban tersebut. Namun bila kuingat kembali, ia adalah anak yang nyaris setiap hari paling telat dijemput oleh orang tuanya. Saat teman-temannya berbaris dan dijemput oleh orang tuanya satu per satu saat mencapai pintu keluar, Natalie adalah anak yang hampir selalu harus menunggu di ruang tunggu dahulu.
“Lho kan Natalie bisa main-main sama teman-teman yang lain di ruang tunggu” ucapku padanya.
 Ia pun membalas dengan gelengan perlahan padaku.
 “Memangnya ada apa di ruang tunggu?” tanyaku, berusaha mencari tahu bila sesuatu terjadi padanya selama di ruang tunggu.
 “Natalie takut nanti nggak dijemput sama mama” jawabnya dengan suara serak yang diringi dengan tetesan air mata.
Ahh.. aku mengerti sekarang. Ternyata bukan ruang tunggu yang membuatnya enggan, namun kenyataan bahwa orang tuanya belum datang menjemput itulah yang membuatnya takut. Akupun berusaha menghiburnya, dan mengatakan orang tuanya pasti menjemputnya, walaupun telat sedikit tapi bukan berarti orang tuanya lupa padanya. Mungkin ada hal penting yang harus dilakukan.
“Tapi mama sudah janji nggak telat lagi”, ucapnya, yang akhirnya membuatku terdiam.
***

Kita sering berpikir bahwa anak kecil adalah tidak pernah mengalami rasa susah, tidak pernah kuatir, mudah untuk diarahkan atau dialihkan. Cukup dibujuk sedikit, mereka akan teralihkan, karena mereka masih sangat polos. Namun kita sering menyalahgunakan atau menganggap ringan apa yang kita ucapkan pada mereka, walaupun mungkin itu hanya hal kecil.

Mungkin banyak yang sudah tahu bahwa pada usia di bawah lima tahun, mereka belajar banyak hal, seperti bahasa, berhitung, kecerdasan kinestetik, musik, seni, dan hal lainnya. Namun mungkin kita lupa bahwa di usia ini, mereka juga belajar tentang karakter, seperti bertanggung jawab, rendah hati, jujur, dan dapat dipercaya. Tidak ada yang dapat mengajarkan tentang karakter itu selain orang-orang terdekatnya menunjukkan secara langsung.

Dalam hal ini aku belajar bahwa jangan pernah berjanji pada siapapun, termasuk pada anak kecil sekalipun, bila kita belum tahu dapat memenuhinya atau tidak. Dalam hal ini, mereka cukup dewasa untuk kita ajak bicara dan beri pengertian, apa sebab kita sulit untuk datang tepat waktu, tanpa perlu memberikan janji sebelumnya. 

 Mereka memang masih kecil, namun bukan berarti mereka yang harus terus belajar dari kita. Kita pun dapat belajar sangat banyak dari mereka. Mereka memang masih kecil, namun bukan berarti mereka dapat lupa dengan mudah apa yang kita katakana, terutama bila itu membuat mereka senang dan tenang.

Ya, mereka memang (bukan) hanya anak kecil, dan aku pun terus berusaha untuk memahami itu.